Jangan Biarkan Bulan Menangis
Malam itu hujan turun dengan derasnya. Bulan dan bintangpun seolah tak tampak sebab tertutup mendung. Sama seperti Bulan, hatinya mendung. Gadis itu berdiam di balik jendela kamarnya dengan tatapan kosong. Ia masih memikirkan apa yang dilihatnya tadi siang dalam perjalanan pulang sekolah, sama sekali ia tidak bisa mempercayai apa yang telah dilihatnya.
Sedari tadi, terus berpikiran olehnya kejadian itu. Tanpa ia sadari ibunya datang untuk menyuruhnya makan malam.
“Bulan, ayo cepat makan! Ibu sudah menunggumu dari tadi di ruang makan,” ujar Ibunya.
Ia segera tersadar dari lamunannya.
“Iya, Bu”
Meskipun malas, ia tetap menjawab ucapan ibunya. Ia seperti kehilangan nafsu makannya. Ibunya melihat keanehan sikap dan tatapan yang ditunjukkan oleh anaknya. Bulan tampak amat sangat tidak bersemangat dan tatapannya kosong.
“Kamu kenapa nak? Ada masalah apa? Kamu tidak seperti biasanya. Tidak enak badan?”
“Hmm..tidak bu. Bulan tidak apa-apa kok.”
Bulan mencoba merahasiakan apa yang telah dilihat dan dipikirkannya hingga saat ini. Ia tak ingin ibunya menjadi kepikiran akan hal itu.
Hari itu sama seperti biasanya. Ayahnya tidak pulang lagi. Ayahnya adalah seorang supervisor di sebuah perusahaan besar telekomunikasi, sedangakn ibnya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.
“Apa ini ada hubungannya dengan kejadian siang tadi?” tanyanya dalam hati. Namun ia segera mengubur dalam-dalam prasangka buruk itu. Ayahnya memang sering tidak pulang ke rumah, tapi yyang ia tahu alasan ketidakpulangan ayahnya itu karena lembur. Ia berusaha untuk melupakan hal itu.
Keesokan harinya, Bulan tetap bersekolah seperti hari biasanya. Ia tak lagi memikirkan apa yang kemarin dilihatnya. Menjadikan itu angin yang lalu. Bulan tetap menjadi yang terbaik. Bulan memang pandai, bahkan boleh dibilang sebagai siswi terpandai di kelasnya. Puluhan kejuaraan pernah ia dapatkannya. Mulai perlombaan akademik hingga non akademik pernh ia ikuti.
Hasilnyapun tidak pernah mengecewakan. Lulus dengan nilai tertinggi dari sebuah sekolah dasar dan sekarang ia bersekolah di salah satu SMP ternama di Surabaya.
Namun apa yang ia dapati sesampainya di rumah?
Praang!!
“Kurang ajar kamu! Berani-beraninya kamu bicara itu! Apa buktinya?” bentak ayahnya pada ibunya.
“Aku emang gak punya bukti tapi aku bisa merasakan, akhir-akhir ini kamu jarang pulang ke rumah! Kemana saja kamu?”
“Kamu tuli ya? Selama ini kan aku lembur, banyak tugasku!”
Bulan yang baru saja sampai rumah tidak berani mendekati kedua orang tuanya yang rupanya sedang bertengkar. Ia yang sudah terlanjur masuk ke dalam rumah segera bersembunyi di balik salah satu sisi almari ruang tamunya. Namun ia tetap mendengarkan apa yang didebatkan orang tuanya.
“Lembur? Sampai dua hari tidak pulang? Lembur macam apa itu! Bilang saja kalau kamu selingkuh!”
Selingkuh? Ucapan itu mengejutkan Bulan. Ya, apa yang ditakutkan Bulan ternyata benar. Kemarin ia melihat ayahnya bermesraan dengan seorang perempuan asing yang tidak dikenalnya di sebuah cafe di dekat sekolahnya. Dan apa yang dia duga benar dan juga ternyata ibunya sudah mengetahui lebih dulu.
“Oke aku mengakui kalau aku selingkuh. Sudah, gak usah banyak bacot kamu! Kalau tak suka ya pergi saja dari rumah ini!”
“Enak saja kamu kalau bicara! Ini rumahku juga! Selama ini aku mendampingimu, tapi dengan gampangnya kamu mengusir aku! Bagaimana dengan anakmu? Bagaimana masa depannya?”
“Bulan tetap menjadi tanggung jawabku. Tapi kau, aku sudah muak denganmu! Pergi!”
Ibunya menangis mendengar perkataan ayah Bulan. Begitupun dengan Bulan ia amat terkejut denagn apa yang baru saja ia dengar.
Stelah perdebatan itu, ayahnya keluar rumah dan meninggalkan ibunya yang menangis tersedu-sedu di ruang keluarga.
Melihat ayahnya telah pergi, Bulan segera menghampiri ibunya yang duduk dan terpuruk. Ibnya terkejut melihat kedatangannya. Ia segera menghapus air matanya.
“Kamu sudah pulang, Nak?”
“Iya, Bu”
“Bu benarkah ayah mengusir kita dari rumah?”
“Tidak, Bulan. Ayah hanya mengusir ibu. Sebaiknya kamu tetap disini”
“Tidak Bu, Bulan ikut Ibu saja”
“Tapi, Nak, jika kamu hidup bersama ibu, hidpmu akan sengsara. Kamu tahu sendiri kan, Ibu tidak bekerja. Bagaimana dengan sekolahmu?”
“Sudahlah Bu. Ibu tenang saja. Kita cari tempat kost saja di kota ini. Uang tabungan Bulan masih ada kok, Bu”
Mereka berdua segera membereskan semua barang yang dibawa. Dengan berat hati, mereka meninggalkan rumah itu. Semua kenanganindah di rumah itu seakan sirna karena kejadian di hari itu.
Syukurlah, di hari itu juga mereka menemukan sebuah kamar kost di dekat sekolah Bulan setelah berkeliling begitu lamanya. Bulan tetap bersekolah seperti biasa setelah kejadian tersebut. Ia menutupi kesedihannya dengan berkas senyum-senyumnya. Ia tak ingin seorangpun mengetahui apa yang sedang dirasakannya sebenarnya.
Namun, ia paling kesal jika ada temannya yang mengajak Bulan untuk bekerja kelompok di rumahnya. Bagaimana tidak, ia sudah tinggal di rumahnya itu. Ia paling sulit mengelak dari ajakan seperti itu. Bingung akan jawaban apa yang harus dia katakan.
Setiap malam bulan selalu memikirkan tiap kejadian dalam hidupnya. Ia tak habis pikir. Segitu teganya Ayahnya sendiri menghianati Ibunya yang amat mencintai Ayahnya. Bulan mengadu pada bulan apa yang sedang ia rasakan dari balik jendela kamar kostnya, tanpa sepengetahuan ibunya. Karena ia tahu, pasti ibunya akan ikut sedih jika mengetahuinya.
“Bulan, tahukah kamu bagaimana perasaanku sekarang? Aku benar-benar bingung. Mengapa ayah begitu tega melakukan hal itu pada ibuku? Tak lagikah ayah pedulu dengan ibuku, dengan aku?” keluh Bulan pada bulan.
Hanya pada hiasan angkasa itu dia bisa meluapkan seluruh perasaannya. Ia tak berani menceritakannya pada orang lain. Semenjak kejadian itu, Bulan menjadi benci pada ayahnya. Semua kenangan manis bersama ayahnya seolah telah sirna dalam ingatannya.
Uang persediaan Bulan dan ibunya semakin menipis. Ya, ibunya tidak bekerja. Dari mana mereka bisa mendapatkan uang untuk kebutuhannya sehari hari? Ibunya bingung, mencoba untuk mencari pekerjaan. Alhasil, ibunya mendapat pekerjaan sebagai pembuat roti di salah satu perusahaan roti ternama, dan Bulanpun membantu menjula segaian roti-roti itu di sekolahnya.
Semenjak adanya pengusiran itu, nilai-nilai Bulan di kelas menurun, ia tak tampak semangat dan ceria seperti sebelumnya. Ia sekarang pendiam dan suka menyendiri. Namun perlahan, Bulan mulai menyadari sikapnya dan juga perlahan demi perlahan dia bisa merubah sikapnya.
Kebencian, kemarahan, serta kekesalan Bulan terhadap ayahnya juga mulai sirna karena sekarang dia sudah terbiasa hidup sendiri bersama ibunya. Janji ayahnya dulu yang tetap membiayai Bulan ternyata hanya omong kosong belaka.
Dengan semangat dan tekad yang tinggi, Bulan serta ibunya menjalani hidup mereka, mereka yakin kesedihan dan kesengsaraan mereka akan segera berakhir dan berganti dengan kebahagiaan. Semua pasti akan indah pada waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar